Saturday, March 8, 2014

Cerpen: Bias!

Lagi-lagi hari yang melelahkan, hanya bisa diam ditengah-tengah kerumunan orang. Mengapa sulit sekali bergaul dengan mereka, teman-teman yang padahal bertemu muka setiap hari di kampus. Tak perlu waktu lama bagiku untuk segera terlelap setelah menghempaskan badanku ke kasur.

“Ver, bangun ver! Bahaya!”

Teriakan itu membuatku terduduk dengan cepat. Kulihat Haris berdiri disana dengan wajah panik. “Cepet Ver, kita harus kabur!”

“Kenapa Ris? Kenapa lo panik banget?” tanyaku. “Udah ga ada waktu, kita bakal dibunuh. Ayo lari!”

Aku memutuskan percaya pada sahabatku ini. Kusambar gagang pintu dan lari keluar rumah. Perlu beberapa menit bagiku untuk membuka semua pintu sampai keluar. Ketika sampai di luar, aku segera berlari mengikuti Haris. Kami berlari begitu cepat, terlalu cepat untuk jalanan yang hanya diterangi lampu jalan muram, sehingga aku beberapa kali terjatuh. Kami sampai di pinggir kebun pisang. Saat aku berpikir untuk memutar, Haris justru masuk ke dalam kegelapan kebun tanpa memperlambat larinya. Mengabaikan rasa takut yang menerpaku, aku segera berlari menyusul Haris, satu-satunya sumber cahayaku di tengah kegelapan yang jahat dan berkabut ini.

Haris berlari begitu cepat, aku hanya sempat menangkap bayangan punggungnya sebelum hilang dalam belokan. Tiba-tiba Ia berhenti di balik sebuah gundukan tanah. “Ver, kita harus masuk sedikit lebih dalam lagi” katanya tanpa terengah-engah sedikit pun. Kali ini tanganku di tuntunnya, masuk semakin dalam ke kebun yang luas ini. “Ris gue takut disini. Kita ga bisa ke tempat lain?” pintaku memelas. Haris tidak menghiraukan, terus menarik tanganku masuk ke dalam kegelapan.


“Aw!” jeritku. Aku menginjak sebuah batu bundar yang dipenuhi lumut, membuat kakiku tertekuk dan tertekan berat badanku. Aku mengerang kesakitan, menggema di malam yang sunyi itu. Aku terduduk sambil memegang kakiku. Haris menyusul duduk, wajahnya terlihat khawatir. “Ris kaki gue sakit banget. Kayaknya ga bisa jalan lagi deh. Kita sembunyi di sini aja bisa?” tanyaku.

Sunyi.

“Haris?” aku memanggil. Nihil, tidak ada jawaban. Aku menengok berkeliling, dia tidak ada dimana-mana. Hanya ada pepohonan, kabut, dan kegelapan.

Kesadaran menamparku.


Aku menghela nafas panjang, sendirian di kegelapan yang asing. Tak kusangka akan separah ini, pikirku dalam hati. Seharusnya aku menuruti nasihat Ibu sejak kecil, bahwa punya teman khayalan itu tidak baik. Semoga saja aku cepat ditemukan oleh manusia.

Part 2

Part 3

No comments:

Post a Comment

How to Win Friends and Influence People

 Author: Dale Carnegie Originally published: October 1936 Self note Practical – Every day Become genuinely interested in other people Smile ...