Hai teman. Masih ingatkah kalian dengan tempat yang bernama
kutek? Kalau kalian bukan Linarty, tentu masih ingat. Malam ini saya akan
bercerita tentang sebuah tempat di kutek. Dari pintu kutek, beloklah ke kiri.
Jalan terus sampai kalian menemukan sebuah warung yang dijaga seorang ibu. Di tempat
itulah cerita ini bermula.
Si ibu, yang saya tidak tahu namanya, berwajah ramah,
humoris, enak diajak ngobrol. Awalnya setiap bertemu saya, si ibu selalu minta
diajarkan cara menyebutkan 78 degrees, nama sebuah produk minuman kopi. Setiap saya
membeli sesuatu di sana, pasti diselingi obrolan-obrolan ringan. Tidak jarang
beliau menanyakan kabar saya. Tentang ujian, tentang libur, tentang skripsi,
tentang sidang. Hal itu cukup membuat saya berpikir, ibu ini terlalu tahu. Seakan mengerti betul kegiatan dan
aktivitas mahasiswa. Namun saya menduga informasi-informasi tersebut didapatkan
dari anak-anak lain yang berbelanja sambil mengobrol, seperti saya.
Akhirnya jawaban itu saya dapatkan berkat hujan. Ya, ketika
saya sedang berada di warung tersebut, hujan lebat turun dengan…hmm..lebatnya. Memaksa
saya berteduh sekaligus mendapatkan banyak waktu berbincang-bincang dengan si
ibu lucu ini. Tak heran kalau beliau
tahu persis aktivitas mahasiswa, karena ternyata beliau mempunyai seorang anak
lelaki yang juga berkuliah. Ketika saya menanyakan universitasnya, beliau
menunjuk ke arah depan, tepat di arah universitas saya berada. Universitas
Indonesia. Belum habis rasa kaget saya, fakta-fakta lainnya bermunculan cepat bagaikan
gelembung panas yang keluar dari perut bumi (oke, berlebihan). Anak beliau
mengambil salah satu jurusan di Fakultas Teknik, angkatan 2006, berarti sudah
lulus sekitar empat tahun lalu. Sekarang sudah bekerja beberapa lama, bahkan
sempat bekerja di luar negeri!
Sebagai salah satu anggota masyarakat yang tidak sempurna,
saya mengakui bahwa awalnya saya tidak menyangka kalau ibu warung ini mempunyai
anak seorang sarjana yang bekerja di luar negeri. Saat menceritakan anaknya,
terlihat sekali rasa bangga dan cinta terhadap anaknya. Saya pun mulai
berpikir, jangan-jangan ibu ini membuka warung hanya untuk mencari kegiatan. Beginilah
kira-kira jawaban beliau:
“Nggak, ibu jualan serius. Kalo ibu masih bisa sendiri ibu
ga mau nerima dari anak.”
Ya, itulah seorang ibu. Tidak ada yang bisa menandingi
ketulusan seorang ibu. Bukan hanya merawat anaknya dari kecil, bahkan ketika
anknya sudah sukses pun sang ibu tetap tidak mau merepotkan. Bila ada yang
berpikir orang tua menyekolahkan anak sebagai investasi agar kelak si anak bisa
membiayai orangtuanya, itu salah. Mereka benar-benar tulus. Mereka senang
melihat kita senang. Dan tetap menerima kita sebagaimana pun terpuruknya kita. Teringat
sebuah kutipan kata-kata pemilik warkop di kutek yang senang berjudi:
“Mau gimana pun keluarga yang terutama. Temen-temen kita
mungkin ada buat seneng-seneng. Tapi kalo kita ga punya apa-apa? Kemana lagi
selain pulang”
Ibu itu sendirian. Ketika saya menanyakan tentang suaminya,
beliau menolak membicarakan hal tersebut. Kehidupannya yang sederhana,
sendirian, tidak mengurangi rasa bangga dan rasa bahagia yang terpancar di
kedua matanya ketika membicarakan anaknya.
Bukankah sangat mudah membuat mereka bahagia? Orangtua mu,
atau siapa pun yang menjadi keluargamu, tempatmu pulang, mereka bahagia ketika
kalian bahagia. Bergiatlah dalam kehidupan kalian, teman, karena kebahagiaan
mereka di tangan kalian.