Friday, September 26, 2014

78 degrees

Hai teman. Masih ingatkah kalian dengan tempat yang bernama kutek? Kalau kalian bukan Linarty, tentu masih ingat. Malam ini saya akan bercerita tentang sebuah tempat di kutek. Dari pintu kutek, beloklah ke kiri. Jalan terus sampai kalian menemukan sebuah warung yang dijaga seorang ibu. Di tempat itulah cerita ini bermula.

Si ibu, yang saya tidak tahu namanya, berwajah ramah, humoris, enak diajak ngobrol. Awalnya setiap bertemu saya, si ibu selalu minta diajarkan cara menyebutkan 78 degrees, nama sebuah produk minuman kopi. Setiap saya membeli sesuatu di sana, pasti diselingi obrolan-obrolan ringan. Tidak jarang beliau menanyakan kabar saya. Tentang ujian, tentang libur, tentang skripsi, tentang sidang. Hal itu cukup membuat saya berpikir, ibu ini terlalu tahu. Seakan mengerti betul kegiatan dan aktivitas mahasiswa. Namun saya menduga informasi-informasi tersebut didapatkan dari anak-anak lain yang berbelanja sambil mengobrol, seperti saya.

Akhirnya jawaban itu saya dapatkan berkat hujan. Ya, ketika saya sedang berada di warung tersebut, hujan lebat turun dengan…hmm..lebatnya. Memaksa saya berteduh sekaligus mendapatkan banyak waktu berbincang-bincang dengan si ibu lucu ini. Tak heran kalau beliau tahu persis aktivitas mahasiswa, karena ternyata beliau mempunyai seorang anak lelaki yang juga berkuliah. Ketika saya menanyakan universitasnya, beliau menunjuk ke arah depan, tepat di arah universitas saya berada. Universitas Indonesia. Belum habis rasa kaget saya, fakta-fakta lainnya bermunculan cepat bagaikan gelembung panas yang keluar dari perut bumi (oke, berlebihan). Anak beliau mengambil salah satu jurusan di Fakultas Teknik, angkatan 2006, berarti sudah lulus sekitar empat tahun lalu. Sekarang sudah bekerja beberapa lama, bahkan sempat bekerja di luar negeri!

Sebagai salah satu anggota masyarakat yang tidak sempurna, saya mengakui bahwa awalnya saya tidak menyangka kalau ibu warung ini mempunyai anak seorang sarjana yang bekerja di luar negeri. Saat menceritakan anaknya, terlihat sekali rasa bangga dan cinta terhadap anaknya. Saya pun mulai berpikir, jangan-jangan ibu ini membuka warung hanya untuk mencari kegiatan. Beginilah kira-kira jawaban beliau:

“Nggak, ibu jualan serius. Kalo ibu masih bisa sendiri ibu ga mau nerima dari anak.”

Ya, itulah seorang ibu. Tidak ada yang bisa menandingi ketulusan seorang ibu. Bukan hanya merawat anaknya dari kecil, bahkan ketika anknya sudah sukses pun sang ibu tetap tidak mau merepotkan. Bila ada yang berpikir orang tua menyekolahkan anak sebagai investasi agar kelak si anak bisa membiayai orangtuanya, itu salah. Mereka benar-benar tulus. Mereka senang melihat kita senang. Dan tetap menerima kita sebagaimana pun terpuruknya kita. Teringat sebuah kutipan kata-kata pemilik warkop di kutek yang senang berjudi:

“Mau gimana pun keluarga yang terutama. Temen-temen kita mungkin ada buat seneng-seneng. Tapi kalo kita ga punya apa-apa? Kemana lagi selain pulang”

Ibu itu sendirian. Ketika saya menanyakan tentang suaminya, beliau menolak membicarakan hal tersebut. Kehidupannya yang sederhana, sendirian, tidak mengurangi rasa bangga dan rasa bahagia yang terpancar di kedua matanya ketika membicarakan anaknya.


Bukankah sangat mudah membuat mereka bahagia? Orangtua mu, atau siapa pun yang menjadi keluargamu, tempatmu pulang, mereka bahagia ketika kalian bahagia. Bergiatlah dalam kehidupan kalian, teman, karena kebahagiaan mereka di tangan kalian.

No comments:

Post a Comment

How to Win Friends and Influence People

 Author: Dale Carnegie Originally published: October 1936 Self note Practical – Every day Become genuinely interested in other people Smile ...