Sunday, November 3, 2019

Review Perempuan Tanah Jahanam

Perempuan Tanah Jahanam is so close to become a masterpiece.


Perempuan Tanah Jahanam atau PTJ adalah film "horror" pertama saya setelah puasa selama beberapa tahun.

Sebenarnya PTJ mungkin lebih cocok disebut film thriller mistis dibandingkan horror murni. Fokus utama dalam film ini bukan kepada makhluk gaib, melainkan kepada kepercayaan masyarakat dan bagaimana pengaruhnya kepada para tokoh cerita.

Dari mulai film sampai pertengahan cerita, saya menganggap film ini jenius. Film ini tidak mengandalkan jump scare untuk mebuat penonton takut, melainkan mengandalkan horror psikologis. Banyak adegan yang sebenarnya biasa sehari-hari, namun dibuat menjadi seram. Bahkan tidak banyak sosok setan atau makhluk lainnya yang ditampilkan, membuat film ini sangat berbeda dari film horror kebanyakan. Suspense yang konstan sepanjang film, cinematography yang apik, serta akting yang mumpuni dari para pemerannya membuat film ini sangat mudah untuk dinikmati. Unik dan epic, kombinasi yang membuat film ini luar biasa.

Sayangnya, film ini tidak lepas dari beberapa kekurangan yang menurut saya fatal. Pertama, adegan monolog dan trance dari Rahayu merupakan sebuah lazy writing. Penonton diceritakan semua informasi-informasi yang diperlukan untuk membuat adegan-adegan sebelumnya masuk akal. Show, not tell. Prinsip ini yang masih tidak dilakukan oleh PTJ. Alih-alih membuka informasi kepada penonton tahap demi tahap melalui adegan, semuanya dijelalkan sekaligus melalui flashback yang usang. Ibarat kata, sebagian besar adegan film dieksekusi dengan telaten dan penuh usaha, namun sebagjan lainnya di lakukan dengan floppy dan rush. Hasilnya, adegan tersebut kurang bisa menyerap dan mengaduk-aduk emosi penonton, agak menyia-nyiakan potensial yang dipunya.

Kekurangan kedua, banyak adegan yang terasa mengganjal dan tidak masuk akal. Adegan Ki Sapta bunuh diri, disusul oleh ibunya yang bunuh diri, Rahayu yang melarikan diri, warga yang mematung kemudian tertawa bahagia mengelilingi bayi ketika ada dua mayat orang yang selama ini mereka hormati dan ikuti ajarannya menumpuk di pinggir. Adegan bunuh diri itu sungguh mengganggu kebahagian dan kelegaan yang seharusnya dialami warga setelah terlepas dari kutukan selama 20 tahun. Sungguh sebuah scene yang mengecewakan untuk sebuah klimaks. Lalu, bukankah Ki Sapta adalah orang baik yang menuntut balas atas dikorbankannya tiga anak kecil kampungnya? Mengapa dia justru membantai orang-orang sebelum membunuh sang dalang asli?

Ya, PTJ memang hampir luar biasa. Namun, perbedaan antara "luar biasa" dan "hampir luar biasa" sayangnya sangat jauh. Andai saja kekurangan-kekurangan tersebut di atas tidak ada, film ini hampir pasti menjadi salah satu film horror terbaik Indonesia. 

No comments:

Post a Comment

How to Win Friends and Influence People

 Author: Dale Carnegie Originally published: October 1936 Self note Practical – Every day Become genuinely interested in other people Smile ...